Friday, June 5, 2009

KAJIAN SANAD HADIS, ANTARA JOSEPH SCHACHT DAN M.M. AZAMI

KAJIAN SANAD HADIS, ANTARA JOSEPH SCHACHT DAN M.M. AZAMI
Oleh : Zailani, M.Ag
I. Pendahuluan
Kajian tentang sumber hukum Islam telah banyak dibahas oleh para pakar,
baik di kalangan umat Islam, maupun dari luar Islam. Di antaranya menyangkut
dengan sumber hukum Islam, terutama Hadis Nabi saw. Hal ini dapat dipahami
bahwa Hadis Nabi mempunyai fungsi yang sangat urgen dalam pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam

Di samping fungsi Hadis tersebut secara khusus sebagai salah satu sumber
dalam penetapan hukum, Hadis juga tidak sama dengan al-Qur’an, sebab al-Qur’an
telah ditulis pada masa Nabi dan telah dibukukan pada masa pemerintahan Usman
bin Affan. Sedangkan Hadis baru dibukukan pada akhir abad pertamadan awal abad
kedua hijrah yaitu pada masa pemerintahan Umar ibn Abdul Aziz (61-101 H)1 yang
mana pada masa ini merupakan masa penutup sikap pro dan kontra tentang
penulisan Hadis.
Disebabkan lamanya tenggang waktu antara Rasulullah dengan masa
pembukuan Hadis ini, menjadikan Hadis sebagai sasaran empuk bagi orang yang
tidak senang dengan agama Islam, khsusnya oleh kaum orientalis yang ingin
menginginkan agar umat Islam tidak percaya kepada Hadis, atau paling tidak
membuat umat Islam meragukan sumber hukum Islam yang kedua itu dari hasil
penelitian yang mereka lakukan.
Salah seorang orientalis yang sangat mengguncangkan dunia Islam oleh hasil
penelitiannya adalah Joseph Schacht, salah seorang murid Ignaz Goldziher, yang
mengatakan bahwa sanad Hadis itu merupakan buatan para qadhi yang yang ingin
melegitimasi pendapat mereka dengan menyandarkannya kepada Rasul, atau
kepada tokoh-tokoh yang ada di belakang mereka, yang dikenal dengan teori
projecting back. Makalah ini mencoba untuk melihat teori yang dikembangkan oleh
Joseph Schacht ini, serta bantahan yang dilakukan oleh para tokoh Islam
sesudahnya.
Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.
Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan
bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia
meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia
berusia 21 tahun.
Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan
pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah
ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya
Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas
Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai
tahun 1939 sebagai Guru Besar.2
Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah
ke Inggeris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia
seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggeris. Dan
ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di
Inggeris, dan menikah dengan wanita Inggeris. Bahkan pada tahun 1947 ia
menjadi warga negara Inggeris.
Meskipun ia bekerja untuk kepentingan negara Inggeris dan mengkhianati
tanah airnya sendiri, namun pemerintah Inggeris tidak memberikan imbalan
apa-apa kepadanya. Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Propesor-
Doktor, di Inggeris ia justeru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas
Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari
universitas tersebut.
Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggeris dan mengajar di Universitas
laiden Negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di sini ia ikut
menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah.
Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas Colombia
New York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal
dunia pada tahun 1969.3
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya
tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umu, ada beberapa disiplin
ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal
atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian
tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya.
Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya
adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada
tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang terbit pada
tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya
tentang Hadis Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadis Nabawi,
terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad
kedua dan ketiga hijrah.
2. Pembahasan
Dalam mengkaji Hadis Nabi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad
(transmisi, silsilah keguruan) dari pada aspek matan (materi Hadis). Sementara
kitab-kitab yang dipakai dalam ajang penelitiannya adalah kitab al-Muwaththa’
karya Imam Malik, kitab al-Muwaththa’ karya Imam Muhammad al-Syaibani,
serta kitab al-Umm dan al-Risalah karya Imam al-Syafi’i. Menurut Prof. Dr.
M.M Azami, kitab-kitab ini lebih layak disebut kitab-kitab Fiqh dari pada kitabkitab
Hadis. Sebab kedua jenis kitab ini memiliki karakteristik yang berbeda.
Oleh karena itu, meneliti Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh
hasilnya tidak akan tepat. Penelitian Hadis haruslah pada kitab-kitab Hadis.5
Prof. Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa
al-Sya’bi (w. 110 H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila
ditemukan Hadis-Hadis yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadis-hadis
itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia berpendapat
bahwa Hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi
(hakim agama). Pada khalifah dahulu (khulafa al-Rasyidin) tidak pernah
mengangkat qadhi. Pengangkatan Qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani
Umayyah.6
Kira-kira pada akhir abad pertama hijrah (+ 715-720 M) pengangkatan
qadhi itu ditujukan kepada orang-orang “spesialis” yang berasal dari kalangan
yang taat beragama. Karena jumlah orang-orang spesialis ini kian bertambah,
maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok aliran fiqh klasik. Hal
ini terjadi pada dekade pertama abad kedua hijrah.
Keputusan-keputusan hukum yang diberikan qadhi ini memerlukan
legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Karenanya,
mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada diri mereka sendiri,
melainkan menisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang Iraq
menisbahkan pendapat mereka kepada Ibrahim al-Nakha’i (w. 95 H).
Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu tidak hanya
dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat,
melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq.
Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapatpendapat
itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi,
misalnya Abdullah ibn Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekontruksi terbentuknya
sanad Hadis menurut Prof. Schacht, yaitu dengan memproyeksikan pendapatpendapat
itu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada dibelakang mereka,
inilah yang disebut oleh Schacht dengan teori projecting Back.7
Kemudian dari itu, menurut Prof. Schacht menuculnya aliran-aliran fiqh
klasik ini membawa konsekwensi logis, yaitu munculnya kelompok oposisi
yang terdiri dari ahli-ahli Hadis. Pemikiran dasar kelompok Ahli-ahli hadis ini
adalah bahwa hadis-Hadis yang berasal dari Nabi saw. harus dapat mengalahkan
aturan-aturan yang dibuat oleh kelompok aliran-aliran fiqh. Oleh karena itu,
untuk mencapai tujuan ini, kelompok ahli Hadis membuat penjelasan-penjelasan
dan Hadis-hadis, seraya mengatakan bahwa hal itu pernah dikerjakan atau
diucapkan oleh Nabi saw. Mereka juga mengatakan bahwa hal itu mereka
terima secara lisan berdasarkan sanad yang bersambung dari para periwayat
Hadis yang dapat dipercaya.
Kesimpulan dari teori Prof. Schacht ini adalah baik kelompok aliran-aliran
fiqh klasik maupun kelompok ahli-ahli Hadis, keduanya sama-sama pemalsu
hadis. Karenanya, sebagaimana yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, Prof.
Schacht mengatakan : we shall not meet any legal tradition from the prophet
which can be considered authentic. (kita tidak akan dapat menemukan satu pun
Hadis nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai
Hadis Shaheh.8
Untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis,
khususnya Prof. Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami
menghancurkan teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya
sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis nabi
yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik
Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu
Hurairah shahabat nabi saw.
Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara azami meneliti perawi Hadis
itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah).
Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa
pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara
domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko,
antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan
redaksinya sama.9
Azami berkesimpulan bahwa sangat mustahil menurut ukuran situasi dan
kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat Hadis palsu
sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masingmasing
membuat Hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa
redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan Azami ini bertolak
belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekontruksi terbentuknya
sanad hadis, maupun bunyi teks (matan) Hadis tersebut.
Sebagai contoh, Azami mengemukakan Hadis yang artinya di mana Nabi
saw. bersabda : “ Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya,
maka hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam
tangannya berada di mana “. Hadis ini dalam naskah Suhail bin Abi Shaleh
berada pada urutan nomor 7, dan pada jenjang pertama (generasi shahabat)
diriwayatkan oleh lima orang, yaitu Abu Hurairah, Ibn Umar, Jabir, Aisyah, dan
Ali bin Abi Thalib.
Abu Hurairah sendiri kemudian meriwayatkan Hadis tersebut kepada 13
orang tabi’in (generasi kedua). 13 orang tabi’in ini kemudian menyebar ke
berbagai penjuru negeri Islam. 8 orang tetap tinggal di Madinah, seorang tinggal
di Kufah, 2 orang tinggal di Basharah, seorang tinggal di Yaman, dan seorang
lagi tinggal di Syam.
Tiga belas Tabi’in ini kemudian meriwayatkan lagi kepada generasi
berikutnya (generasi ketiga = Tabi’ Tabi’in), dan jumlah mereka menjadi =
tidak kurang dari 16 orang. Mereka tinggal di Madinah (6 orang), Bashrah (4
orang), Kufah (2 orang), Makkah (1 orang), Yaman (1 orang), Khurasan (1
orang), dan Himsh-Syam (1 orang).10 Maka mustahil 15 orang yang
domisilinya terpencar-pencar di tujuh kota yang berjauhan itu pernah berkumpul
pada satu saat untuk bersama-sama membuat Hadis palsu yang redaksinya
sama, atau mustahil pula, bila mereka secara sendiri-sendiri di kediamannya
masing-masing membuat Hadis, dan kemudian diketahui bahwa bahwa redaksi
Hadis tersebut secara kebetulan sama. 16 orang rawi di atas adalah hanya dari
jalur Abu Hurairah. Apabila jumlah rawi itu ditambah dengan rawi-rawi dari
empat jalur lainnya, yaitu Ibn Umar, Jubir, Aisyah, dan Ali, maka jumlah
perawi itu akan menjadi lebih banyak.11
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Prof. Schacht dengan
teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru
terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam
menetapkan suatu hukum, adalah tidak benar, hal ini sudah dibuktikan oleh
Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai
kepada rasulullah saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Hal ini
membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah
buatan para qadhi, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari
rasul saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
3. Kesimpulan
Teori Projecting Back yang dikemukakan oleh Joseph Schacht di atas,
terlihat ada kelemahan-kelemahan yang kemungkinan akan muncul dari teori itu
sendiri. Kelemahan tersebut di anataranya adalah bahwa bila sanad itu
diciptakan oleh seorang qadhi dalam melegitimasi pendapat mereka, maka
mustahil akan terdapat banyak jalur dalam satu sanad Hadis. Kemudian apabila
Hadis itu berasal dari para qadhi, maka tidak akan mungkin antara qadhi yang
terdapat di kufah, umpamanya sama lafaz atau bunyi yang ia ucapkan dengan
qadhi yang berada di tempat yang lain. Sebagaimana bantahan yang
disampaikan oleh M.M. Azami melalui penelitiannya di atas. Wa Allah ‘A’lam.
Catatan Kaki
1. Muhammad Ajjaj al-Khatib, Al-Sunnah Qabla al-Tadwin, Bairut, Daar al-Fikr, 1981, hlm. 373.
2. Ali Mustafa Yaqub, Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 19.
3. Abdurrahman Badawi, Mausu’ah al-Mustasyriqin, Bairut, Daar al-Ilmi al-Malayin, 1989, hlm. 252-
253.
4. Ibid, hlm. 253-255.
5. Muhammad Mushthafa Azami, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarekh Tadwinih, Bairut, almaktab
al-Islami, 1980, hlm. 398.
6. Joseph Schacht, An Introductionti Islamic Law, Oxford, Clarendom Press, 1964, hlm. 34.
7. Ibid, hlm. 31-32.
8. Ali Musthafa Yaqub, op. cit., hlm. 22.
9. M. M. Azami, Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana, American Trust Publication,
1978, hlm. 222-223
10. Iibid, hlm. 225-226.
11. Ibid, hlm 227.
Read more!